Sesampainya di kampung Sri Rahayu kondisi masih terlihat sama seperti dulu.. kumuh dan kotor. Kita berdua langsung menuju rumah Pak Musofan, beliau ini adalah ketua yayasan Dewi Sri Rahayu. Sebuah yayasan dengan basis pemberdayaan masyarakat kampung Sri Rahayu. Selain sebagai ketua yayasan, beliau juga merupakan salah satu orang yang ditokohkan di kampung tersebut. Rumahnya tepat disebelah sanggar Dewi Sri Rahayu dan di depan satu-satunya musola di kampung tersebut. Rumahnya pun sangat sederhana, dindingnya masih terbuat dari sejenis triplek tapi lebih tebel.. apa tuh namanya ya?? Kesan pertama bertemu bapak ini beliau sangat sederhana penampilannya, menggunakan kaos oblong dan celana panjang. Malah sedikit terkesan awut-awutan dan jauh dari rapi. Setelah mengobrol, kita baru tahu kalau Pak Musofan ternyata dulu mahasiswa lulusan STAIN Purwokerto jurusan pendidikan agama. Beliau datang ke kampung ini pada tahun 2001 karena prihatin melihat kampung ini tidak memiliki tempat ibadah sekaligus tidak terjamah pendidikan agama. Pak Musofan pada akhirnya memutuskan menetap di Kampung Sri Rahayu dan ingin mengabdi di kampung ini dengan niat memberikan pendidikan agama kepada masyarakat kampung. Subhanalah.. sungguh aku tersentuh dan berfikir.. 1001 lah lulusan mahasiswa yang mau mengabdikan diri untuk kehidupan sosial, apalagi sampai memutuskan menetap di kampung itu.
Sedikit sejarah tentang kampung ini, mayoritas penduduk kampung adalah pendatang. Jadi mereka bukanlah orang asli Purwokerto/ Banyumas. Kebanyakan dari mereka berasal dari kota-kota besar. Mereka terbuang dan terkucilkan dari keluarga dan saudara sehingga tidak memungkinkan untuk bisa kembali lagi ke kota asal. Rata-rata dari merekapun adalah orang-orang bermasalah, yang pada akhirnya mereka menetap di kampung Sri Rahayu dan beranak pinak di kampung ini. Kampung ini kurang lebih memiliki 250 KK dengan beragam pekerjaan serta sekitar 200 anak usia sekolah, 50 diantaranya mereka tidak bersekolah.
Sanggar Dewi Sri Rahayu (tempat kegiatan yayasan Sri Rahayu)
Satu-satunya mushola di kampung Sri Rahayu
Rumah Pak Musofan disebelah sanggar & didepan mushola
Kondisi kampung Sri Rahayu
Kondisi kampung Sri Rahayu
Kita membahas banyak hal, dan sesungguhnya aku sangat antusias dan lebih banyak bertanya daripada sepupuku yang mempunyai hajat untuk bikin thesis. Ini adalah sebuah fakta dan realita kehidupan, sebuah permasalahan sosial yang sesungguhnya bukan menjadi PR pemerintah. Tapi itu PR kita bersama sebagai warga negara, sebagai generasi muda, seberapa besar kita memiliki kepedulian untuk memberikan solusi terhadap masalah sosial. Kampung Sri Rahayu ini diibaratkan Los Angles nya kota Purwokerto. Semua pekerjaan yang sedikit menyimpang ada disini: gelandangan, pengemis, PSK (PSK cewe, PSK gig*l*, PSK waria), copet, preman, dan segala bentuk pekerjaan yang tidak wajar hampir lengkap ada disini. Bedakan dengan Doli di Surabaya dan Sarkem di Jogja apa permasalahan kedua tempat tersebut? Yap prostitusi. Sedangkan di kampung Sri Rahayu warganya memiliki permasalahan yang sangat kompleks, lebih dari sekedar prostitusi.
Apa yang terjadi di kampung Sri Rahayu ibarat lingkaran setan yang akan terus berlanjut hingga kapanpun. Seseorang yang tinggal di kampung tersebut rata-rata tidak mampu mengubah nasib dan keluar dari lingkaran setan. Dari orang tua sampai anak cucunya bisa aja jadi gelandangan dan gak ada kemajuan apapun. Menurut penuturan Pak Musofan, banyak warga kampung Sri Rahayu yang sudah mau berubah. Satu-satunya cara untuk memutus rantai lingkaran setan adalah dengan berhijrah, pergi dari kampung itu selama-lamanya dan menetap di wilayah lain dengan kondisi lingkungan yang lebih kondusif. Kebanyakan dari mereka yang masih menetap di kampung tersebut dan berusaha mencari pekerjaan lain seperti kuli ataupun berjualan, pasti mereka akan kembali ke pekerjaan mereka yang dulu (entah itu jadi pengemis atau copet, dsb). Itu disebabkan oleh kondisi orang-orang sekitar yang tidak memungkinkan diri sendiri untuk berubah. Ingat sebuah pepatah teman kita adalah cerminan diri kita. Kalo temennya preman ya kemungkinan besar kita bisa ikut ketularan jadi preman.
Beberapa waktu yang lalu pemerintah Kabupaten Banyumas mensosialisasikan perda No.16 Tahun 2015 yang isinya kurang lebih seperti ini "Setiap orang/lembaga/badan hukum yang memberi uang dan atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan, pengemis, pengamen, dan orang terlantar dan anak jalanan di tempat umum diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp 20.000.000." Perda tersebut dipasang di papan pinggir jalan di setiap persimpangan lampu merah di Purwokerto. Karena lama di jogja, jadi pas balik dan jalan-jalan di Purwokerto agak kaget gitu sih liat ada papan itu.
Usut punya usut ternyata perda tersebut sedikit menimbulkan kerusuhan -.-. Berdasarkan berita yang aku baca di koran lokal sih tujuan perda Banyumas memasang papan tersebut buat mensosialisasikan tentang perda itu dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat biar tidak sembarangan memberikan uang kepada mereka. Sebenernya maksud pemerintah baik, pemerintah tidak ingin mereka manja dengan hanya bergantung menjadi pengemis dan gelandangan dengan meminta-minta dijalanan. Sebenernya akupun nggak setuju dengan para gepeng (gelandangan & pengemis) itu, dan sekarang aku nggak pernah memberikan uang sepeserpun pada peminta-minta. Apalagi yang kondisi badannya masih sehat, yang sebenernya mereka bisa kerja yang lain kayak jadi PRT, jaga toko, tukang cuci, atau apapun lah yang tidak merendahkan diri mereka. Aku sedikit pilih-pilih kalau mau kasih uang ke para gepeng itu.
Nah apa hubungannya perda ini dengan kampung Sri Rahayu? Jadi mayoritas warga kampung Sri Rahayu adalah para gepeng itu. Awal mula adanya perda itu warga kampung Sri Rahayu tidak terusik dan terganggu sama sekali. Karena pada dasarnya mereka memang tidak tahu menahu, maklum lah mayoritas mereka berpendidikan rendah dan mungkin ada juga yang tidak bisa membaca. Yaa jangankan untuk memahami perda. Ceritanya ada oknum yang masuk ke kampung Sri Rahayu dan sedikit memprovokasi tentang perda tersebut. Mereka berdalih bahwa kalian para gepeng telah dirampas hak-nya untuk mencari nafkah di jalanan. Selain itu gepeng-gepeng tersebut juga diberikan pengetahuan tentang pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara." Tapi pada kenyataanya yang terjadi adalah jauh dari yang disebutkan oleh UU tersebut. Nah panaslah para gepeng yang diprovokasi oleh oknum, dan mereka sempat demo didepan kabupaten hingga merusak sarpras yang ada disana.
Akibat dari kejadian tersebut, saat ini apa yang terjadi di kampung Sri Rahayu cukup mengkhawatirkan. Kampung ini warganya telah terpecah menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing ceritanya memiliki tujuan yang berbeda (passion-nya beda gituu). Kelompok pertama adalah mereka yang melakukan demo di kabupaten. Mereka adalah orang-orang yang minta diakui keberadaan dan eksistensinya sebagai gepeng. Dalam artian, mereka kekeuh mau jadi gepeng aja dan nggak mau berubah. Kelompok kedua adalah kelompok yang masuk kedalam binaan Pak Musofan di yayasan Dewi Sri Rahayu. Dimana kelompok ini adalah yang menginginkan perubahan nasib lebih baik. Mereka ingin keluar dari lingkaran setan yang membelenggu diri mereka. Kelompok ketiga adalah kelompok para penguasa dan konglomerat kampung Sri Rahayu yang memiliki kepentingan tertentu. Dan pada intinya kelompok ketiga ini tidak ingin warga kampung Sri Rahayu berubah menjadi lebih baik, agar si empunya kepentingan semakin kaya raya.
Oke sekarang aku ikut pusing hehe... Selanjutnya aku tanya ke Pak Musofan. Sejauh ini bagaimana nasib orang-orang yang ingin berubah? Apa yang telah yayasan ini lakukan untuk mereka yang mau berubah dan apa yang pemerintah sudah lakukan untuk mengatasi hal ini?
Bapak-bapak, ibu-ibu dan remaja diberikan pelatihan kewirausahaan. Pak Musofan juga sempat menunjukkan hasil karya remaja kampung (lemari pakaian). Mereka mendatangkan pelatih/orang yang ahli dan membuat lemari pakaian. Intinya mereka selalu mendatangkan mentor untuk memberikan pelatihan ketrampilan. Ibu-ibu sempat diajari berwirausaha dengan dikursuskan menjahit, memasak (bikin cemilan, keripik dll), diberikan pengetahuan tentang pengemasan produk usaha, dan diberi modal berupa peralatan untuk usaha. Nah apa yang terjadi? mereka sangat semangat untuk membuka usaha. Bahkan mereka patungan bersama-sama untuk modal bahan bakunya. Mereka melakukan produksi dan mengemas produk mereka dengan menarik. Kemudian masalahpun muncul. Mereka tidak dibekali dengan ilmu pemasaran. Produksi jalan, tapi mereka tidak tahu harus kemana menjual produk-produk mereka. Padahal kesuksesan dari sebuah bisnis adalah marketing, sistem bisnis yang baik. Mereka harus paham ilmu itu.
Aku sering mendengar anggapan miring tentang warga kampung ini. "Mereka ya gitu tuh percuma dikasih pelatihan atau modal, ujung-ujungnya yaa nggak berguna mereka balik ngemis lagi." Anggapan ini menurutku tidak sepenuhnya benar, dan nggak bisa juga ditelan mentah-mentah. Banyak faktor yang menyebabkan mereka bertindak seperti itu, dan itu juga bukan sepenuhnya salah mereka. Hal pertama yang perlu dibangun dari warga kampung Sri Rahayu untuk mau berubah adalah kesiapan mental, mental harus kuat untuk menghadapi perubahan yang signifikan. Peralihan pekerjaan dari gepeng menjadi wirausahawan merupakan perubahan yang cukup jauh. Ketika mereka menjadi gepeng, mereka hanya perlu meminta-minta dan uangpun masuk ke kantong. Sedangkan ketika berwirausaha harus mau sedikit lebih repot dan pusing. Mau memproduksi, mau menjual dan perputaran uang lebih lama karena mereka harus mendapat pembeli dulu agar uang masuk ke dalam kantong. Dikarenakan tidak memiliki pengetahuan tentang pemasaran, produk-produk mereka pun nggak laku. Tidak ada pembeli. Padahal kebutuhan sehari-hari harus dipenuhi. Mereka memiliki keluarga yang harus dinafkahi dan membutuhkan uang untuk membayar tagihan-tagihan. Pada akhirnya mereka kembali kejalanan menjadi gepeng dan menjual peralatan yang dimodalkan oleh pemerintah. Mereka berpikir bahwa alat-alat tersebut tidak menghasilkan apapun.
Setelah melihat fakta di atas bagaimana pendapat kalian? Miris sekali bukan. Aku merasa amat sangat kasihan pada mereka warga kampung yang ingin merubah nasib hidupnya. Tapi mereka terhalang banyak kendala terutama ilmu pengetahuan. Apa yang sekarang mereka butuhkan? Mereka membutuhkan pendampingan secara intensif, terus-menerus dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Pendampingan ini dilakukan hingga mereka dirasa cukup mandiri untuk berwirausaha sendiri, memahami sistem bisnis, memiliki ilmu, dan sudah paham apa yang harus dilakukan. Kita hanya perlu membantu mereka membuatkan sistem pemasaran yang baik. Mengenalkan apa itu segmentasi pasar, bagaimana agar produk laku dijual dan bisa memproduksi barang secara kontinyu. Hal ini perlu didampingi oleh orang-orang yang memiliki ilmu tentang pemasaran. Tidak harus seorang yang profesional dan ahli, yang penting cukup mengerti dan paham dasar dari kegiatan jual-beli. Karena faktanya mereka juga tidak mau sistem yang ribet, mereka cukup dibekali dengan pengetahuan yang bisa dengan mudah mereka pahami. Melalui tulisan ini aku ingin mengajak kepada siapa saja yang peduli akan kampung Sri Rahayu untuk bersatu dan membantu memberikan ilmu serta pembekalan wirausaha kepada mereka. Aku dengan senang hati menyambut siapa saja yang ingin bergabung membantu mereka.
Gagasanku adalah, aku membayangkan kampung ini memiliki kelompok usaha dimana mereka nantinya mampu mandiri dengan kelompok usaha tersebut. Kelompok usaha dapat dibagi menjadi beberapa divisi seperti divisi produksi, divisi pengemasan, divisi pembelian bahan baku, divisi keuangan, dan divisi pemasaran/sales. Produk-produk hasil usaha kampung ini tergolong produk umkm, yang dibantu sistem pemasarannya hingga mereka memiliki segmentasi pasar dan pelanggan yang melakukan order dalam jumlah besar serta melakukan order secara kontinyu. Jika sistem pemasaran produk ditujukan pada pedagang besar (dalam artian penjual pihak kedua) diharapkan warga kampung Sri Rahayu dapat memproduksi produknya dengan jumlah yang lebih besar. Otomatis dengan sistem produksi yang besar ini akan menyerap banyak tenaga kerja untuk memproduksi. Cara seperti ini diharapkan mampu menarik perhatian warga lain untuk turut bergabung dan merubah nasibnya. Hal ini juga bisa menjadikan kampung Sri Rahayu menjadi desa binaan yang mempu memberikan inspirasi bagi desa-desa lainnya. Semoga.
0 comments:
Post a Comment